Ada sekitar 8 Pasal berbahaya dalam RUU KAMNAS

Draft terbaru Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang baru diberikan Pemerintah kepada DPR, diakui Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, masih banyak mengandung pasal bermasalah. Hasanuddin memang sudah mendapatkan dan membaca draf yang dikirimkan Kementrian Pertahanan (Kemhan) pada 16 Oktober lalu.

“Kesimpulan saya, kalau kita mau kembalikan peran TNI seperti jaman Orba dulu, mari kita berlakukan UU ini. Kalau mau reformasi dilanjutkan, ya mari kita kritisi,” kata Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (25/10/2012). Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, sedikitnya ada delapan pasal dalam draf terbaru RUU Kamnas yang patut dicurigai karena bisa merusak tatanan Orde Reformasi Indonesia.

Pertama, pasal 14 ayat 1 yang menyatakan status darurat militer diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. “Padahal aslinya darurat militer hanya kalau ada pemberontakan senjata atau ada serangan milier dari luar. Untuk urusan sosial, misalnya seperti kerusuhan 1998, tak perlu darurat miiter, cukup darurat sipil. Kalau darurat sipil, seharusnya TNI tak perlu masuk,” paparnya.

Kedua, Pasal 17 ayat 4, yang menyebutkan ancaman potensial dan aktual ditentukan dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. “Ini bahaya. Karena artinya nanti Presiden boleh buat skenario apa saja yang jadi ancaman. Jadi kalau ada mogok, misalnya, bisa dikeluarkan Perpres untuk mengerahkan pasukan,” terangnya. Purnawirawan TNI Bintang Dua ini juga menilai pasal 22 ayat 1, yang masih tetap menggunakan penyelenggaraan Kamnas melibatkan peran aktif intelijen negara. “Mestinya dibuat jelas mana intelijen yang boleh dan yang tidak,” kata Hasanuddin.

Kemudian, lanjut Hasanuddin, Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi Panglima TNI dapat menetapkan kebijakan operasi dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi kebijakan penyelenggara Kamnas.
“Itu tak boleh. Mestinya Panglima TNI menyelenggarakan operasi militer menurut fungsi TNI saja. Tak harus ikuti kebijakan Dewan Kamnas. Kalau pasal seperti ini, nantinya dia (Panglima TNI) bisa digunakan melakukan apa saja, termasuk hal yang keluar dari tugas militer sesuai UU,” jelasnya.

Menurut Hasanuddin, ada yang unik, dalam ayat selanjutnya dari pasal tersebut, yakni polisi ditugaskan sesuai fungsi Kepolisian yang diatur UU. “Jadi TNI dibuat leluasa, Polisi dikunci. Ini artinya TNI ada keleluasaan, sementara Polri berjalan di koridornya,” sambungnya. Sementara dalam, Pasal 30, disebutkan presiden dapat menggunakan usur TNI dalam menanggulangi ancaman bersenjata dalam kondisi tertib sipil. “Ini juga tak jelas. Dengan demikian, kalau ada kriminal bersenjata, penugasan TNI bisa dilaksanakan,” kata Hassanudin.

Lalu pasal 32 ayat 2, dinyatakan pelibatan masyarakat dalam kamnas lewat komponen cadangan (Komcad) dan komponen pendukung. Ini baru, sebab RUU Komcad sendiri sedang digodok dan mendapat banyak penolakan. Sedangkan, di pasal 48 ayat 1C, dinyatakan bahwa komando dan kendali tingkat operasional di wilayah provinsi, ditangani panglima atau komandan satuan terpadu. Dalam hal ini berarti Panglima Kodam. Dan ayat D, disebutkan penanganan di tingkat kabupaten dilaksanakan pejabat setingkat komandan batalion dan atau komandan distrik militer (Kodim).
“Nah kami kembalikan, apakah TNI mau digeser seperti peran jaman Orba dulu? Atau kita ikuti UU TNI. Kami kembalikan ke rakyat mau seperti apa,” simpulnya.

PDI Perjuangan, ditegaskan Hasanuddin tetap menggunakan aturan-aturan yang ada saat ini. Pasalnya, sudah jelas menunjukkan bagaimana peran TNI dan peran Kepolisian. “Dan kalau mau jujur, untuk masalah sosial, peran TNI dan Polri ini sudah ada di UU Penanganan Konflik Sosial. Tak perlu Kamnas lagi,” tutupnya.

Posted on Maret 1, 2013, in Informasi & Berita. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar